Mata
rani tak berhenti berkutat dari smartphone putih yang ada ditangannya ,terkadang
ia menggeser cepat layar yang manja tersebut, ia tak peduli, seolah kehilangan
sesuatu dan ingin menangkapnya lagi, bola mata nya berpindah-pindah bak the
golden snitch dalam permainan quiditch nya harry potter, begitu cepat,
tergesa-gesa dan tegas.terkadang pula terdengar nafasnya yang begitu memburu,
rasa tidak sabar nya merefleksikan tangannya untuk meraih kepala, menggaruknya
sebentar lalu memukul kasur yang senantiasa menampung tubuhnya. Setelah sekian
lama, matanya mulai menyudut, menyiratkan keheranan serta kekaguman pada benda
tersebut, bibirnya yang semula terkatup rapat mulai tersungging, melebar hingga
terlihat gingsulnya yang menawan.
“ kenapa bisa ada makhluk mempunyai
dua kemampuan yang berlawanan, begitu lambat dan begitu cepat?”
#####
“kenapa
kita harus terus berdiam diri dalam keterbelakangan sementara dunia semakin cepat
berputar, meninggalkan kita yang lalai, kita yang tak mau membuka pikiran untuk
maju, yang terlena dengan keindahan yang diciptakan oleh orang lain,
sementara kita mempunyai skill yang sama
ibarat terpukau melihat orang berjalan indah, sedangkan kaki kita tidak kalah
indah dengan kaki mereka, kita tidak boleh seperti ini kawan, kita harus
bangkit, menelusuri kembali jejak pendahulu kita, bukan sifat kita seperti ini,
seperti pengecut yang kedinginan” hampir setiap pagi rahmi berorasi di depan
para gadis-gadis yang tak lain adalah kawan sekelas nya, dengan semangat yang
menggebu-gebu ia seperti berhasil mendoktrin pikiran mereka, tampak beberapa
yang menganggukkan kepala sembari memperbaiki possisi duduk agar lebih nyaman,
ada pula yang langsung mengambil note book untuk merangkai jadwal yang telah
diskemakan dalam pikirannya, tak sedikit yang mencatat kata-kata yang baru saja
diucapkan oleh rahmi, kawan yang paling idealis di kelas. Diantara kelompok itu
terdapat rani yang dengan malasnya menopang dagu dengan tangan kanan nya
mendengar celotehan itu, ia tampak tak begitu tertarik dengan rangkaian kata tersebut
menurutnya hanya sebagai sarapan pagi yang sedikit menghangatkan daan perlahan
akan memudar, bahkan membeku.
“rani, kamu kenapa? Seperti tak
senang jika aku berdiri disini?” bola mata rahmi melotot tajam lalu beberapa
detik kemudian terlihat menyipit, penuh curiga. Rani agak terkejut karena ia
menjadi focus seisi ruangan sekarang ini, ia turunkan tangannya yang semula
berada di dagu, kemudian menggeleng pelan dan tersenyum, hanya sepersekian
detik sebelum bibirnya kembali terkatup.
“ kawan, look, “ dia mulai
menampilkan aksen inggrisnya, “ kita
bukan lagi anak SMA yang belajar semata-mata karena nilai, nilai yang tercantum
di raport takkan bisa mengeluarkan dirinya untuk menolong kita yang tersesat
dalam dunia social,, ipk yang tinggi saja tidak cukup kita jadikan bekal dimasa
depan, itu merupakan syarat kesekian untuk hidup bahagia, selebihnya ya, di
dunia nyata, dunia social yang dipenuhi masyarakat dengan beragam watak dan
sikap, dunia yang selalu menuntut kita untuk tak egois seperti yang kita
lakukan dikelas, dunia yang segala tetek bengeknya hampir menyiksa kita, apakah
kita sanggup menghadapi semua itu? Tidak!! Takkan bisa kalau tak kita asah dari
sekarang, Kita perlu semacam latihan kawan, sangat perlu!!” kalimat itu
diakhiri dengan nada yang yang rendah, berbeda dengan sebelumnya , berapi-api
,yang siap membakar siapa pun yang menentang.
“seperti?” suara mawar yang
lembut bagaikan salju, menyiram bara yang masih kelihatan merah
“organisasi” rahmi meledakkan
lagi bara tersebut, tak terlalu panas, namun cukup membuat kelas ribut, Nampak
beberapa yang berbisik, lalu tersenyum bersama.
“ya, organisasi atau semacam nya
merupakan media tempat kita menyalurkan kemampuan kita, tempat kita
beradaptasi, mengenal yang namanya ukhuwah yang erat serta tempat kita berbagi
dan mengeluh,tempat kita berlatih kawan dan ehem kamu rani, tidakkah kamu
tertarik untuk mengeluarkan diri dari kepasifan?? Mata rahmi menyiratkan keprihatinan
yang luar biasa, kelas menjadi diam sejenak ketika sebuah suara yang ragu-ragu
mulai terdengar
“ kakiku seperti patah, tubuhku
seperti beku, tangan ku seperti batu, mataku seolah ingin tertutup melupakan
semua prahara masa depan, bibir ku tak pernah tersenyum, langkahku tak pernah
terhenti ketika seseorang mau menyapaku, wajahku selalu masam, bahkan rambutku
pun seolah ingin bersembunyi selamanya di dalam kerudung, aku sendiri bingung,
kenapa dengan diriku? Apakah aku masih normal? Hati ku seperti mengeras, semua
kata-kata yang bermaksud menasehatiku kuanggap sebagai musuh yang sedang
memojokkan diriku, dan sekarang dunia seperti mencibirku’’ rani menutup wajahnya yang mulai memerah, terlihat
bahunya berguncang, suaranya mulai parau dan sesekali ia menghembuskan nafas
yang panjang, ia menangis pagi itu, di dalam kelas yang dipenuhi kawan-kawan ceweknya,
sebagian ada yang tak paham dan sebagian lagi mencoba mendekat, mengelus
pundakknya seolah menghilangkan beban rani yang begitu berat, namun rani belum
berhenti, ia masih ingin mengeluarkan apa yang ia simpan selama ini, rupanya
orasi rahmi telah menyelinap kedalam
kalbunya, membuatnya sadar dan malu dengan keadaan nya sebelum ini,
mmengabaikan dunia diluar kelas.
Sejenak
dian merangkul rani erat, seperti ikut merasakan kepedihan yang ditanggung
sehabatnya itu, dan ia bahkan tak peka dengan keadaan nya selama ini, dian
mengangkat telapak tangan rani yang menutupi wajahnya, awalnya rani menolak,
namun gerakan dian sangat lembut dan tegas, memastikan semuanya akan baik-baik
saja, muka rani masih tertunduk malu, sejurus kemudian beberapa dari mereka
seperti anne, siti dan lili mengeluarkan celotehan yang dianggap paling lucu
untuk menghibur rani, dian tak tinggal diam dia segera duduk dihadapan rani,
memegang kedua ujung bibir rani lalu menariknya sedikit, seperti bulan sabit,
ya persis!
“sekarang,
apa yang kamu inginkan? Dian melontarkan pertanyaan yang memerlukan jawaban
hebat, rani berdehem, membetulkan letak kakinya yang mulai kesemutan
“aku
ingin berorganisasi, aku ingin berada dalam lingkungan komunitas, aku ingin
bersosialisasi seperti kalian, yang punya banyak teman diluar sana, yang selalu
disapa dan menyapa, yang bercerita tentang pengalamannya yang luar biasa
mengagumkan” suara rani mulai datar, tak nampak lagi linangan air matanya.
Kawannya mulai tersenyum lebar mendengar seruan tersebut, seperti sebuah
semangat baru, seperti rumput yang baru keluar setelah ditutupi oleh salju
tebal selama berminggu-minggu.
“kau tak
perlu risau rani, kami sudah mempunyai daftar-daftar organisasi yang bisa kau pilih, tidak ada penekanan dari
siapa pun, semua terserah padamu” rahmi memperlihatkan kertas yang berisi list
nama-nama komunitas yang sebagian besar tidak pernah ia lihat, rani
menyunggingkan senyumnya, pertanda ia setuju, lalu ia menerima kertas tersebut
lalu memasukkan ke dalam tas nya yang berwarna biru tua.
“terima
kasih kawan, kalian sangat berarti bagiku” rani memeluk kawan-kawan yang
memberi nya semangat baru, terutama rahmi, si idealis sekaligus orator ulung
menurutnya, ia memeluknya erat sekali, tak lupa rahmi menepuk-nepuk punggung
rani yang agak sedikit basah oleh keringat.
“jangan
lupa buka link secepatnya agar kau bisa mendaftar dan tidak ketinggalan,
sesuaikan dengan kemampuan tubuh mu, jangan pilih terlalu banyak, okay girl?
Rahmi mengedipkan mata kirinya genit, rani tersenyum geli.
“well,
soon” rani mulai beranjak meninggalkan
kelas bersama kawan-kawannya, kebetulan sekali pagi senin itu dosen filsafat
tidak masuk karena beliau sedang sakit,namun tak ada waktu yang terbuang
sia-sia, ia mendapatkan pelajaran kehidupan yang lebih berharga. Setelah
meminta tumpangan dian untuk mengantarkannya ke kos, dia langsung menyusun
berbagai rencana dalam pikirannya, memantapkan hatinya untuk tidak mudah
terpengaruh dengan aroma kasur yang mengundang kemalasan, walaupun ia yakin
setelah sampai nanti ia akan merebahkan dirinya di atas benda empuk
tersebut. Mereka berhenti di depan rumah
warna hijau, bergaya minimalis, agak kurang cocok untuk dijadikan kosan, namun
sepertinya rani dan mawar-kawan sekos yang berbeda kamar-beruntung tahun itu. Sebenarnya
rumah tersebut tak terlalu jauh dari UIN ArRANIRY Banda Aceh, kampus tempatnya menimba ilmu, sekitar 10
menit jika berjalan kaki,namun dia terlalu letih setelah air mata nya terkuras
tadi di kelas.
“ thanks
a lot di,” ujar rani segera turun dari vario milik dian, ia beranjak ke hadapan
dian, tersenyum dan mencubit pelan tangan dian, terdengar dian meringis
kesakitan, kemudian tertawa bersama sebelum dian menghidupkan start kereta
tersebut.
“hati-hati
di” rani setengah berteriak lalu melambaikan tangannya, kemudian dengan agak
tergesa-gesa ia masuki kamarnya dan benar saja ia langsung meregangkan
otot-ototnya di kasur kesayangannya, bukan untuk bermalas-malasan melainkan
mencari posisi senyaman mungkin, sejenak terlihat ia mengeluarkan sesuatu dari
tasnya, persegi dan berwarna putih gading lalu mulai membetulkan posisi bantal
di atas kepalanya sambil berdehem keras.
######
“ kenapa
bisa ada makhluk mempunyai dua kemampuan yang berlawanan, begitu lambat dan
begitu cepat?” rani setengah berteriak di dalam kamarnya, sudah berulang-ulang
ia ajukan pertanyaan itu,ia sendiri tak berharap untuk dijawab Cuma sebagai
pelampiasan dari kekesalannya, dan rani sangat beruntung karena hanya ia
sendiri berada dikamarnya yang sedikit besar itu, taka ada ventilasi suara jadi
kemungkinan besar pertanyaan konyolnya tak didengar oleh orang lain..
“karena
jaringan ran, makanya makhluk itu bisa tercipta” suara mawar yang lembut dengan
cepat bisa ia kenali, rani tertawa lalu membuka pintu kamarnya sembari
mempersilahkan ciptaan tuhan yang cantik secantik namanya, .rupanya mawar sudah
berdiri disana sejak ia mengucapkan kata-kata tersebut.
“kamu
lagi apa siang-siang begini ran?” mawar duduk dekat rani yang sedang sibuk
menatap smartphonenya, rani menggeleng pelan tanpa menoleh. Mawar merebahkan
badannya di samping rani, mencoba melihat kearah benda yang sedang dipegang
rani, mata mawar menyipit lalu mengangguk pertanda paham.
“buka
lewat laptop aja ran, lebih gampang.” mawar beranjak mendekati pintu, memegang
gagangnya lalu terhenti dan menoleh kearah rani lagi.
“oh
ya, aku berhasil menjawab teka-teki yang selalu kamu lontarkan ketika kamu
kesal, jadi, apa hadiah yang kamu berikan? Mawar berkata sembari menarik
smartphone yang ada ditangan rani, berharap rani menoleh kepadanya.
“mawar
yang cantik nan berduri, aku bahagia karena kamu sudah bisa menjawabnya, kamu pasti terus memikirkan itu, bukan?
Semester 3 aku menciptakannya namun kau menjawabnya sekarang, tidak adil jika
hanya kamu yang mendapatkan hadiah itu.” Rani tertawa geli saat berkata seperti
itu, kening mawar berkerut hebat.
“hadiahnya
sudah tercipta mawar, kamu bisa menjawabnya dan aku mendapatkan jawaban itu, is
it well??” smartphone putih yang ada di tangan mawar berpindah cepat ke tangan
pemiliknya, mawar hanya mendesah kecewa lalu mulai beranjak menuju pintu
“jaga
kesehatan, jangan terlalu sibuk dengan komunitas mu itu”
“oke
cantik, trims atas warningnya” ujar rani
sambil tersenyum, sempurna, begitu manis. Mawar sudah keluar dari kamarnya, ia
merasakan tenggorokannya kering, dengan langkah gontai ia menuju dapur mencari
segelas air dan kembali kekamar setelah ia berhasil membasahi benda yang kering
tersebut. Sejenak kemudian ia seperti melamun, membuka kembali memori 3 tahun
tahun silam, dimana ia seperti anak kecil yang menangis dihadapan
kawan-kawannya yang setia, bayangan rahmi yang berorasi dengan semangat ’45,
kawan-kawannya yang menatap rahmi dengan penuh rasa ingin bangkit, notebook nya
yang berwarna kuning, tasnya yang berwarna biru tua dengan gambar kacamata dan
jenggot ala eropa, matanya yang sembap, pelukan kawannya yang hangat, vario
milik dian, hingga kosan hijau minimalis yang kabar nya sekarang sudah
ditempati mahasiswa Malaysia. Air matanya kembali menetes mengenang kejadian
itu, rasa rindunya membuncah, sudah lama sekali rasanya ia tak melihat wajah
sang motivator, tak merasakan panasnya semangat yang ia kobarkan, tak
mendengarkan celotehan yang dianggapnya sebagai sarapan pagi, tak melihat
kedipan nakalnya, tawanya, senyumnya, marahnya, ya.. semua sudah hilang sejak
rahmi mengalami kecelakaan 2 minggu setelah ia menangis di dalam kelas pagi
itu, bahkan vario milik dian yang dipinjam rahmi untuk menghadiri seminar
mengenai paham liberalism ikut hancur berkeping-keping. Rani tak kuasa
membendung tangisnya siang itu, hidungnya mulai tersumbat, matanya memerah
sampai akhirnya ia meringis kesakitan karna terlalu banyak air mata nya yang
tumpah, sejenak ia terdiam namun bahunya masih berguncang hebat.
“Allah mengirimkan rahmi sebagai
pendorongku,penyemangat yang luar biasa,ia tak pernah lelah untuk selalu
berceloteh, ia mampu menyihir banyak orang hanya dengan rangkaian kalimat yang
sederhana, termasuk diriku yang hatinya seperti membeku kala itu, bukanlah aku
seperti sekarang ini jika dulu ia tak berbicara seperti itu, ahh rahmi, tau kah
kau? Aku sekarang ialah ketua sekaligus pendiri komunitas jalan raya, kau
taukan apa maksudnya? Kami akan turun ke jalan-jalan seperti polisi,
menertibkan lalu lintas dan memberikan arahan, supaya tak banyak lagi korban
kecelakaan seperti engkau sahabatku, supaya tak terlalu banyak air mata yang
keluar seperti yang kami alami 3 tahun lalu dan supaya engkau bisa tersenyum
disana melihat kawan mu ini sudah berubah, menjadi lebih baik. “
by: Nurridha Sunni