Senin, 06 November 2017

sebuah cerita di masa lalu



Mata rani tak berhenti berkutat dari smartphone putih yang ada ditangannya ,terkadang ia menggeser cepat layar yang manja tersebut, ia tak peduli, seolah kehilangan sesuatu dan ingin menangkapnya lagi, bola mata nya berpindah-pindah bak the golden snitch dalam permainan quiditch nya harry potter, begitu cepat, tergesa-gesa dan tegas.terkadang pula terdengar nafasnya yang begitu memburu, rasa tidak sabar nya merefleksikan tangannya untuk meraih kepala, menggaruknya sebentar lalu memukul kasur yang senantiasa menampung tubuhnya. Setelah sekian lama, matanya mulai menyudut, menyiratkan keheranan serta kekaguman pada benda tersebut, bibirnya yang semula terkatup rapat mulai tersungging, melebar hingga terlihat gingsulnya yang menawan.
“ kenapa bisa ada makhluk mempunyai dua kemampuan yang berlawanan, begitu lambat dan begitu cepat?”
                                                          #####
“kenapa kita harus terus berdiam diri dalam keterbelakangan sementara dunia semakin cepat berputar, meninggalkan kita yang lalai, kita yang tak mau membuka pikiran untuk maju, yang terlena dengan keindahan yang diciptakan oleh orang lain, sementara  kita mempunyai skill yang sama ibarat terpukau melihat orang berjalan indah, sedangkan kaki kita tidak kalah indah dengan kaki mereka, kita tidak boleh seperti ini kawan, kita harus bangkit, menelusuri kembali jejak pendahulu kita, bukan sifat kita seperti ini, seperti pengecut yang kedinginan” hampir setiap pagi rahmi berorasi di depan para gadis-gadis yang tak lain adalah kawan sekelas nya, dengan semangat yang menggebu-gebu ia seperti berhasil mendoktrin pikiran mereka, tampak beberapa yang menganggukkan kepala sembari memperbaiki possisi duduk agar lebih nyaman, ada pula yang langsung mengambil note book untuk merangkai jadwal yang telah diskemakan dalam pikirannya, tak sedikit yang mencatat kata-kata yang baru saja diucapkan oleh rahmi, kawan yang paling idealis di kelas. Diantara kelompok itu terdapat rani yang dengan malasnya menopang dagu dengan tangan kanan nya mendengar celotehan itu, ia tampak tak begitu tertarik dengan rangkaian kata tersebut menurutnya hanya sebagai sarapan pagi yang sedikit menghangatkan daan perlahan akan memudar, bahkan membeku.
“rani, kamu kenapa? Seperti tak senang jika aku berdiri disini?” bola mata rahmi melotot tajam lalu beberapa detik kemudian terlihat menyipit, penuh curiga. Rani agak terkejut karena ia menjadi focus seisi ruangan sekarang ini, ia turunkan tangannya yang semula berada di dagu, kemudian menggeleng pelan dan tersenyum, hanya sepersekian detik sebelum bibirnya kembali terkatup.
“ kawan, look, “ dia mulai menampilkan aksen inggrisnya, “  kita bukan lagi anak SMA yang belajar semata-mata karena nilai, nilai yang tercantum di raport takkan bisa mengeluarkan dirinya untuk menolong kita yang tersesat dalam dunia social,, ipk yang tinggi saja tidak cukup kita jadikan bekal dimasa depan, itu merupakan syarat kesekian untuk hidup bahagia, selebihnya ya, di dunia nyata, dunia social yang dipenuhi masyarakat dengan beragam watak dan sikap, dunia yang selalu menuntut kita untuk tak egois seperti yang kita lakukan dikelas, dunia yang segala tetek bengeknya hampir menyiksa kita, apakah kita sanggup menghadapi semua itu? Tidak!! Takkan bisa kalau tak kita asah dari sekarang, Kita perlu semacam latihan kawan, sangat perlu!!” kalimat itu diakhiri dengan nada yang yang rendah, berbeda dengan sebelumnya , berapi-api ,yang siap membakar siapa pun yang menentang.
“seperti?” suara mawar yang lembut bagaikan salju, menyiram bara yang masih kelihatan merah
“organisasi” rahmi meledakkan lagi bara tersebut, tak terlalu panas, namun cukup membuat kelas ribut, Nampak beberapa yang berbisik, lalu tersenyum bersama.
“ya, organisasi atau semacam nya merupakan media tempat kita menyalurkan kemampuan kita, tempat kita beradaptasi, mengenal yang namanya ukhuwah yang erat serta tempat kita berbagi dan mengeluh,tempat kita berlatih kawan dan ehem kamu rani, tidakkah kamu tertarik untuk mengeluarkan diri dari kepasifan?? Mata rahmi menyiratkan keprihatinan yang luar biasa, kelas menjadi diam sejenak ketika sebuah suara yang ragu-ragu mulai terdengar
“ kakiku seperti patah, tubuhku seperti beku, tangan ku seperti batu, mataku seolah ingin tertutup melupakan semua prahara masa depan, bibir ku tak pernah tersenyum, langkahku tak pernah terhenti ketika seseorang mau menyapaku, wajahku selalu masam, bahkan rambutku pun seolah ingin bersembunyi selamanya di dalam kerudung, aku sendiri bingung, kenapa dengan diriku? Apakah aku masih normal? Hati ku seperti mengeras, semua kata-kata yang bermaksud menasehatiku kuanggap sebagai musuh yang sedang memojokkan diriku, dan sekarang dunia seperti mencibirku’’  rani menutup wajahnya yang mulai memerah, terlihat bahunya berguncang, suaranya mulai parau dan sesekali ia menghembuskan nafas yang panjang, ia menangis pagi itu, di dalam kelas yang dipenuhi kawan-kawan ceweknya, sebagian ada yang tak paham dan sebagian lagi mencoba mendekat, mengelus pundakknya seolah menghilangkan beban rani yang begitu berat, namun rani belum berhenti, ia masih ingin mengeluarkan apa yang ia simpan selama ini, rupanya orasi rahmi telah menyelinap  kedalam kalbunya, membuatnya sadar dan malu dengan keadaan nya sebelum ini, mmengabaikan dunia diluar kelas.
Sejenak dian merangkul rani erat, seperti ikut merasakan kepedihan yang ditanggung sehabatnya itu, dan ia bahkan tak peka dengan keadaan nya selama ini, dian mengangkat telapak tangan rani yang menutupi wajahnya, awalnya rani menolak, namun gerakan dian sangat lembut dan tegas, memastikan semuanya akan baik-baik saja, muka rani masih tertunduk malu, sejurus kemudian beberapa dari mereka seperti anne, siti dan lili mengeluarkan celotehan yang dianggap paling lucu untuk menghibur rani, dian tak tinggal diam dia segera duduk dihadapan rani, memegang kedua ujung bibir rani lalu menariknya sedikit, seperti bulan sabit, ya persis!
“sekarang, apa yang kamu inginkan? Dian melontarkan pertanyaan yang memerlukan jawaban hebat, rani berdehem, membetulkan letak kakinya yang mulai kesemutan
“aku ingin berorganisasi, aku ingin berada dalam lingkungan komunitas, aku ingin bersosialisasi seperti kalian, yang punya banyak teman diluar sana, yang selalu disapa dan menyapa, yang bercerita tentang pengalamannya yang luar biasa mengagumkan” suara rani mulai datar, tak nampak lagi linangan air matanya. Kawannya mulai tersenyum lebar mendengar seruan tersebut, seperti sebuah semangat baru, seperti rumput yang baru keluar setelah ditutupi oleh salju tebal selama berminggu-minggu.
“kau tak perlu risau rani, kami sudah mempunyai daftar-daftar organisasi  yang bisa kau pilih, tidak ada penekanan dari siapa pun, semua terserah padamu” rahmi memperlihatkan kertas yang berisi list nama-nama komunitas yang sebagian besar tidak pernah ia lihat, rani menyunggingkan senyumnya, pertanda ia setuju, lalu ia menerima kertas tersebut lalu memasukkan ke dalam tas nya yang berwarna biru tua.
“terima kasih kawan, kalian sangat berarti bagiku” rani memeluk kawan-kawan yang memberi nya semangat baru, terutama rahmi, si idealis sekaligus orator ulung menurutnya, ia memeluknya erat sekali, tak lupa rahmi menepuk-nepuk punggung rani yang agak sedikit basah oleh keringat.
“jangan lupa buka link secepatnya agar kau bisa mendaftar dan tidak ketinggalan, sesuaikan dengan kemampuan tubuh mu, jangan pilih terlalu banyak, okay girl? Rahmi mengedipkan mata kirinya genit, rani tersenyum geli.
“well, soon”  rani mulai beranjak meninggalkan kelas bersama kawan-kawannya, kebetulan sekali pagi senin itu dosen filsafat tidak masuk karena beliau sedang sakit,namun tak ada waktu yang terbuang sia-sia, ia mendapatkan pelajaran kehidupan yang lebih berharga. Setelah meminta tumpangan dian untuk mengantarkannya ke kos, dia langsung menyusun berbagai rencana dalam pikirannya, memantapkan hatinya untuk tidak mudah terpengaruh dengan aroma kasur yang mengundang kemalasan, walaupun ia yakin setelah sampai nanti ia akan merebahkan dirinya di atas benda empuk tersebut.  Mereka berhenti di depan rumah warna hijau, bergaya minimalis, agak kurang cocok untuk dijadikan kosan, namun sepertinya rani dan mawar-kawan sekos yang berbeda kamar-beruntung tahun itu. Sebenarnya rumah tersebut tak terlalu jauh dari UIN ArRANIRY Banda Aceh,  kampus tempatnya menimba ilmu, sekitar 10 menit jika berjalan kaki,namun dia terlalu letih setelah air mata nya terkuras tadi di kelas.
“ thanks a lot di,” ujar rani segera turun dari vario milik dian, ia beranjak ke hadapan dian, tersenyum dan mencubit pelan tangan dian, terdengar dian meringis kesakitan, kemudian tertawa bersama sebelum dian menghidupkan start kereta tersebut.
“hati-hati di” rani setengah berteriak lalu melambaikan tangannya, kemudian dengan agak tergesa-gesa ia masuki kamarnya dan benar saja ia langsung meregangkan otot-ototnya di kasur kesayangannya, bukan untuk bermalas-malasan melainkan mencari posisi senyaman mungkin, sejenak terlihat ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya, persegi dan berwarna putih gading lalu mulai membetulkan posisi bantal di atas kepalanya sambil berdehem keras.
######
“ kenapa bisa ada makhluk mempunyai dua kemampuan yang berlawanan, begitu lambat dan begitu cepat?” rani setengah berteriak di dalam kamarnya, sudah berulang-ulang ia ajukan pertanyaan itu,ia sendiri tak berharap untuk dijawab Cuma sebagai pelampiasan dari kekesalannya, dan rani sangat beruntung karena hanya ia sendiri berada dikamarnya yang sedikit besar itu, taka ada ventilasi suara jadi kemungkinan besar pertanyaan konyolnya tak didengar oleh orang lain..
“karena jaringan ran, makanya makhluk itu bisa tercipta” suara mawar yang lembut dengan cepat bisa ia kenali, rani tertawa lalu membuka pintu kamarnya sembari mempersilahkan ciptaan tuhan yang cantik secantik namanya, .rupanya mawar sudah berdiri disana sejak ia mengucapkan kata-kata tersebut.
          “kamu lagi apa siang-siang begini ran?” mawar duduk dekat rani yang sedang sibuk menatap smartphonenya, rani menggeleng pelan tanpa menoleh. Mawar merebahkan badannya di samping rani, mencoba melihat kearah benda yang sedang dipegang rani, mata mawar menyipit lalu mengangguk pertanda paham.
          “buka lewat laptop aja ran, lebih gampang.” mawar beranjak mendekati pintu, memegang gagangnya lalu terhenti dan menoleh kearah rani lagi.
          “oh ya, aku berhasil menjawab teka-teki yang selalu kamu lontarkan ketika kamu kesal, jadi, apa hadiah yang kamu berikan? Mawar berkata sembari menarik smartphone yang ada ditangan rani, berharap rani menoleh kepadanya.
          “mawar yang cantik nan berduri, aku bahagia karena kamu sudah bisa menjawabnya,  kamu pasti terus memikirkan itu, bukan? Semester 3 aku menciptakannya namun kau menjawabnya sekarang, tidak adil jika hanya kamu yang mendapatkan hadiah itu.” Rani tertawa geli saat berkata seperti itu, kening mawar berkerut hebat.
          “hadiahnya sudah tercipta mawar, kamu bisa menjawabnya dan aku mendapatkan jawaban itu, is it well??” smartphone putih yang ada di tangan mawar berpindah cepat ke tangan pemiliknya, mawar hanya mendesah kecewa lalu mulai beranjak menuju pintu
          “jaga kesehatan, jangan terlalu sibuk dengan komunitas mu itu”
          “oke cantik,  trims atas warningnya” ujar rani sambil tersenyum, sempurna, begitu manis. Mawar sudah keluar dari kamarnya, ia merasakan tenggorokannya kering, dengan langkah gontai ia menuju dapur mencari segelas air dan kembali kekamar setelah ia berhasil membasahi benda yang kering tersebut. Sejenak kemudian ia seperti melamun, membuka kembali memori 3 tahun tahun silam, dimana ia seperti anak kecil yang menangis dihadapan kawan-kawannya yang setia, bayangan rahmi yang berorasi dengan semangat ’45, kawan-kawannya yang menatap rahmi dengan penuh rasa ingin bangkit, notebook nya yang berwarna kuning, tasnya yang berwarna biru tua dengan gambar kacamata dan jenggot ala eropa, matanya yang sembap, pelukan kawannya yang hangat, vario milik dian, hingga kosan hijau minimalis yang kabar nya sekarang sudah ditempati mahasiswa Malaysia. Air matanya kembali menetes mengenang kejadian itu, rasa rindunya membuncah, sudah lama sekali rasanya ia tak melihat wajah sang motivator, tak merasakan panasnya semangat yang ia kobarkan, tak mendengarkan celotehan yang dianggapnya sebagai sarapan pagi, tak melihat kedipan nakalnya, tawanya, senyumnya, marahnya, ya.. semua sudah hilang sejak rahmi mengalami kecelakaan 2 minggu setelah ia menangis di dalam kelas pagi itu, bahkan vario milik dian yang dipinjam rahmi untuk menghadiri seminar mengenai paham liberalism ikut hancur berkeping-keping. Rani tak kuasa membendung tangisnya siang itu, hidungnya mulai tersumbat, matanya memerah sampai akhirnya ia meringis kesakitan karna terlalu banyak air mata nya yang tumpah, sejenak ia terdiam namun bahunya masih berguncang hebat.
          Allah mengirimkan rahmi sebagai pendorongku,penyemangat yang luar biasa,ia tak pernah lelah untuk selalu berceloteh, ia mampu menyihir banyak orang hanya dengan rangkaian kalimat yang sederhana, termasuk diriku yang hatinya seperti membeku kala itu, bukanlah aku seperti sekarang ini jika dulu ia tak berbicara seperti itu, ahh rahmi, tau kah kau? Aku sekarang ialah ketua sekaligus pendiri komunitas jalan raya, kau taukan apa maksudnya? Kami akan turun ke jalan-jalan seperti polisi, menertibkan lalu lintas dan memberikan arahan, supaya tak banyak lagi korban kecelakaan seperti engkau sahabatku, supaya tak terlalu banyak air mata yang keluar seperti yang kami alami 3 tahun lalu dan supaya engkau bisa tersenyum disana melihat kawan mu ini sudah berubah, menjadi lebih baik. “
   
by: Nurridha Sunni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar